Rabu, 23 Desember 2015

TUGAS TAMBAHAN , TOLERANSI DALAM AGAMA



TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM
          Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” , “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”  adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.
          Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan manusia.

Konsep Toleransi Dalam Islam

Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’lamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”  
          Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja).  Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
          Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun saw atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”  Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.
          Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la  dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iylullhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iylihi” (“Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).
          Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil sam” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu).  Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.
          Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.  Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
          Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan  dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.
          Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Alla); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia…”
Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah).
Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.
Lalu, apa itu as-samahah (toleransi)? Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
1.    Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
2.    Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
3.    Kelemah lembutan karena kemudahan
4.    Muka yang ceria karena kegembiraan
5.    Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
6.    Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
7.    Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
8.    Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan [a] Inti Islam, [b] Seutama iman, dan [c] Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda. Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : 'Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki'. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya : 'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : 'Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur."
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallAh).

TUGAS TAMBAHAN ( IZZATULISLAM )



TUGAS TAMBAHAN

IZZATULISLAM

PERMASALAHAN UMMAT ISLAM MASA KINI...

Pendahuluan
الحمدُ للهِ القائل ِفي مُحكم ِالتنزيل : ﴿إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ﴾ الرعد/11
Abad ke 15 Hijriah ini pernah disebut sebagai abad kebangkitan Islam, dengan harapan bisa menggerakkan semangat dan usaha untuk mengembalikan kejayaan Islam. Namun sampai saat ini kondisi umat Islam masih terpuruk, yang secara umum masih dalam kondisi “terjajah”.
Dalam kajian Islam kali ini kita akan mendiskusikan beberapa problematika umat dan tantangannya dan kita lanjutkan dengan solusianya, terutama hal-hal yang bisa kita kerjakan, sebab Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لا يَعْنِيهِ (الترمذى، وابن ماجه، والبيهقى فى شعب الإيمان عن أبى هريرة)
Kompleksitas Problem
Di bidang ekonomi masyarakat Muslim dunia sama sekali tidak bisa diandalkan. Sampai sekarang sistem yang dipakai tetap saja kapitalisme dengan segala konsekuensinya. Negara-negara Muslim yang memang sudah miskin semakin miskin saja dengan kapitalisme yang dibanggakan Amerika itu. Sistem perekonomian Islam yang menjanjikan keadilan itu tidak mencul sama sekali. Sistem bank konvensional (riba) masih menjadi pilihan utama masyarakat dunia, kalau tidak karena terpaksa. Belum lagi dengan kemiskinan negara-negara Muslim yang menyebabkan mereka harus berhutang pada negara-negara kapitalis. Yang pada gilirannya juga akan mempersulit mereka. Bahkan untuk sekedar membayar bunga hutang.
Dari segi politik juga demikian. Amerika dengan PBB praktis menguasai seluruh negara didunia tidak terkecuali negara Muslim. Dengan kekuatan persenjataan dan teknologi tinggi, secara politis Amerika telah menjadi polisi dunia. Begitu pula kelompok-kelompok pertahanan dan politik seperti NATO yang lumayan represif terhadap Islam. Di pentas dunia, negara-negara Muslim sendiri tidak punya kekuatan jika dibanding mereka. Organisasi negara-negara Islam seperti OKI tidak bisa berbuat banyak menghadapi PBB dan NATO. Bahkan sekedar turut berperan serta dalam menentukan harga dan kuota minyak – yang negara-negara arab sangat berkepentingan terhadap hal itu- tidak mampu dilakukan. Fakta-fakta masih terpinggirkannya peran Islam dalam dunia internasional ditambah lagi dengan problem umat islam di Palestina, Afghanistan, Irak, Sudan, Tunisia, Mesir, Eriteria, Kashmir, Cechnya, dll. Belum lagi problem kaum muslimin minoritas di belahan bumi ini.
Kini umat Islam bahkan agama Islam sedang mengalami tekanan hebat dengan isu terrorisme.
Ismail Raji al Faruqi menjelaskan kondisi umat ini:
Dunia Ummah Islam saat ini berada pada anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Di dalam abad ini, tidak ada kaum lain yang mengalami kekalahan dan kehinaan seperti yang dialami kaum Muslimin. Kaum Muslimin telah dikalahkan, dibantai, dirampas negeri dan kekayaannya, dirampas kehidupan dan harapannya[1].
Untuk menetralisir tuduhan keji ini ada baiknya kita simak orasi
Ustadz Pierre Vogel (Da’i Jerman) Berikut:
Silakan lihat Video di:
http://www.gensyiah.com/bantahan-terhadap-tuduhan-kaum-muslimin-sebagai-teroris.html
Dalam bidang pemikiran, umat Islam telah berhasil dikelabuhi oleh berbagai gerakan westernisasi yang berakibat adanya trend di kalangan umat Islam untuk meniru Barat dan merasa asing serta phobi pada Islam sendiri. Kini pemikiran islam banyak yang terkontaminasi oleh skularisme dan liberalisme. Dari segi sosial budaya umat Islam lebih menyukai meniru Barat dalam banyak hal seperti model berpakaian, cara bergaulan, bahasa dan simbol-simbol budaya lainnya. Kemudian ini juga berlanjut dengan menganggap baik segala apa yang berasal dari Barat dan sebaliknya menganggap yang dari Islam itu jelek dan ketinggalan jaman, bahkan sampai pada taraf anti yang berbau arab karena diidentikkan dengan islam.
Dalam hal sains dan teknologi jelas umat Islam jelas ketinggalan meskipun secara personal banyak umat Islam yang canggih keilmuannya, namun sayang kurang mendapatkan tempat di negara-negara Islam atau memang loyaslitasnya kepada agama dan bangsanya kurang.
Dalam bidang Agama banyak negara-negara Islam yang kurang mempedulikannya, ditambah dengan banyaknya aliran sempalan dan pemikiran yang merusak. Dalam hal ini Syekh Muqbil al-Wadi’I Rahimahullah memaparkan bala` dan fitnah yang harus dihadapi oleh umat Islam yaitu:
1) Hukkam Jahilun bis-Syari’ah. Diantara mereka ada yang memusuhi syariat Allah, menghina al-Qur`an dan melecehkan Sunnah Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menggirim rakyat kepada Hawiyah (kebinasaan).
2) Kelompok-kelompok (Ahzab) sesat yang sekiranya mereka menguasai kursi pemerintahan akan berbuat kerusakan. Kebanyakan mereka sesuai dengan QS al-Baqarah ayat 204-206).
3) Ulama Suu` dan lainnya yang sifatnya sama dengan yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
أخوف ما أخاف على أمتي منافق عالم اللسان
4) Jama’at yang bermacam-macam dan saling bermusuhan bahkan perhatiannya untuk menghabisi yang yang lain melebihi perhatiannya untuk menghadapi Yahudi, Nasrani dan aliran-aliran yang jelas-jelas sesat[2].
Begitu pula dalam masalah-masalah lain seperti hukum, lingkungan, kesehatan, dan bencana alam.
Kondisi seperti ini masuk ke dalam firnah akhir zaman yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhan. Aku bertanya: Apakah dakhan itu? Beliau menjawab: Suatu kaum yang mengikuti selain sunnahku dan mengambil petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: Ya, da’i – da’i di atas pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya. Aku bertanya: Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya ? Beliau bersabda: Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”.[3]
Syaikh Abdul Aziz Ibn Baz Rahimahullah berkata[4]:
فهذا الحديث العظيم الجليل يرشدك أيها المسلم إلى أن هؤلاء الدعاة اليوم، الذين يدعون إلى أنواع من الباطل كالقومية العربية، والاشتراكية والرأسمالية الغاشمة، وإلى الخلاعة والحرية المطلقة وأنواع الفساد كلهم دعاة على أبواب جهنم، سواء علموا أم لم يعلموا، من أجابهم إلى باطلهم قذفوه في جهنم. ولا شك أن هذا الحديث الجليل من أعلام النبوة، ودلائل صحة رسالة محمد صلى الله عليه وسلم حيث أخبر بالواقع قبل وقوعه فوقع كما أخبر.
فنسأل الله لنا ولسائر المسلمين العافية من مضلاّت الفتن، ونسأله سبحانه أن يصلح ولاة أمر المسلمين وزعماءهم حتى ينصروا دينه، ويحاربوا ما خالفه. إنه ولي ذلك والقادر عليه.(فتاوى بن باز ج1/ ص296 )
Perlunya Mengenali Keburukan
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali Hafidzahullah berkata[5]: Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qur’ani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebathilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin). Allah berfirman.
{ وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ } [الأنعام:55]
Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa“. (Al-An’am : 55)
Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula sabilul mu’minin. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu kejelasan sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Dengan demikian menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian serta problematika umat lainnya adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan.
Seorang penyair masa abbasiyyah Abu Faras al-Hamdani berkata:
عَرَفْتُ الشّرَّ لا لِلشّرِّ لَكِنْ لِتَوَقّيهِ وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشّرَّ منَ الناسِ يقعْ فيهِ
“Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menghindarinya. Barangsiapa yang tidak mengenali keburukan dari manusia, maka akan terjerumus ke dalamnya”.
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiallahu ‘Anhu. Maka ia berkata : “Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya”

MANUSIA MAKHLUK BELAJAR



MANUSIA MAKHLUK BELAJAR
Ada satu kata atau istilah, yaitu “belajar” yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Karena aktivitas belajar itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti binatang misalnya. Karena aktivitas belajar pula yang mengantarkan seorang manusia menjadi berilmu, yang selanjutnya memosisikan manusia menjadi makhluk yang paling mulia diantara makhluk yang ada di muka bumi ini. Karena belajarlah, manusia bisa bertahan hidup dan bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Karena belajarlah, manusia bisa memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi. Karena belajarlah, manusia bisa mengembangkan budayanya, dan karena belajar pula, manusia bisa menguasai alam dan bisa mengubah wajah dunia ini.
Coba kita perhatikan bagaimana kehidupan binatang, apapun jenisnya. Binatang hanya mengandalkan instink untuk dapat memenuhi hidupnya dan mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupan binatang dari waktu ke waktu hanya begitu-begitu saja. Tidak ada binatang yang mampu mengembangkan kreativitas untuk memperbaiki derajat kehidupannya. Persoalan ada binatang yang dianggap pandai, sehingga dapat mengikuti perintah manusia, itu juga hanya sebatas instinknya saja, bukan hasil belajar.
Dalam kehidupan manusia, belajar adalah kata kunci yang menjadi ciri sekaligus potensi bagi umat manusia. Belajar telah menjadi atribut manusia. Potensi belajar merupakan kodrat sekaligus fitroh bawaan sebagai karunia dari Sang Maha Pencipta, Allah, swt. Belajar adalah kebutuhan hakiki dalam hidup manusia di muka bumi ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa belajar adalah “energi kehidupan” umat manusia yang dapat mengusung harkat kemanusiaannya menjadi sosok beradab dan bermartabat.
Belajar adalah suatu proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami manusia sejak manusia di dalam kandungan, buaian, tumbuh  berkembang dari anak-anak, remaja sehingga menjadi dewasa, sampai ke liang lahat, sesuai dengan prinsip pembelajaran sepanjang hayat. Sebagaimana telah dituntunkan dalam Islam, belajar seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang lahat, minal mahdi ilal lahdi, from cradle to the grave.
Teori sains terakhir bahkan mengungkapkan bahwa calon manusia telah mulai belajar saat juataan sperma berjuang mencapai ovum dalam uterus. Jutaan sperma itu seolah saling berjuang, berebut dan berlomba mencapai ovum, banyak di antaranya yang gugur di tengah jalan. Uniknya, satu atau dua sperma ( pada kasus kembar tidak identik ) mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sisa ribuan sperma yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah di buahi. Ternyata …yang bermula dari satu atau dua sperma itu adalah kita, dan kitalah yang menjadi pemenangnya sebagai buah dari proses belajar, setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan. Demikianlah, calon manusia ini telah belajar berjuang, beradaptasi, bersaing, tetapi juga bekerja sama dan berkurban untuk kepentingan sesama.
Secara teoritik, belajar dapat dimaknai sebagai suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Dengan demikian buah dari proses belajar tersebut dapat berupa bertambahnya pengetahuan, adanya peningkatan keterampilan, semakin sempurnanya perilaku dan sikap serta semakin matang kepribadian. Dalam konteks proses  memperoleh pengetahuan, kontak manusia dengan alam diistilahkan dengan pengalaman ( experience ). Pengalaman yang terjadi berulang kali melahirkan pengetahuan ( knowledge ). Dalam perspektif sains, ada anggapan bahwa pengetahuan sudah terserak dan tersebar di alam semesta ini, tinggal bagaimana manusia bereksplorasi, menggali dan menemukan kemudian memungutnya, untuk memperoleh pengetahuan. Begitu pentingnya makna pengalaman yang berujung pada terjadinya pengendapan akan pengetahuan, sehingga muncul pepatah : pengalaman adalah guru yang paling baik,  experience is the best teacher, dalam pepatah Minangkabau dinyatakan dengan sebutan ; alam takambang menjadi guru atau alam berkembang menjadi guru.
Pada dasarnya semua manusia pernah mengalami atau memiliki pengalaman belajar yang sangat menakjubkan. Ketika bayi, kita mulai belajar menggerak-gerakkan organ tubuh, belajar mengidentifikasi, belajar berbicara, belajar berjalan dan sebagainya, nyatanya kita bisa bergerak, bisa mengenal lingkungan, bisa berbicara, dan bisa berjalan dengan sempurna. Artinya kita telah mampu berjuang menghadapi berbagai tantangan dalam belajar, seperti berkali-kali jatuh ketika belajar berjalan namun akhirnya berhasil dan sukses. Demikian pula ketika belajar naik sepeda, berapa kali kita jatuh dan terluka, namun kita tetap belajar terus tanpa menyerah dan akhirnya kita bisa naik sepeda bahkan berbagai kendaraan lainnya. Itu semua adalah pengalaman sukses belajar. Dalam berbagai sisi kehidupan lainnya masih banyak lagi pengalaman sukses belajar yang telah dan terus akan kita alami dari hari ke hari.
Akan tetapi dalam perkembangannya, manusia termasuk kita semua sering melupakan pengalaman sukses tersebut, atau barangkali justru tidak menyadari bahwa apa yang kita alami itu sebagai buah dari sukses belajar, sehingga tidak tumbuh keinginan untuk mengulangi dan menghadirkan sukses-sukses berikutnya dalam kehidupan yang lebih luas. Dari uraian di atas, dapat kita tarik bahwa sebenarnya aktivitas belajar merupakan suatu kebutuhan, bukan beban, bahkan setiap diri manusia telah dibekali potensi untuk mampu belajar ( dalam arti luas ).
Jikalau roh belajar tersebut sudah terpatri dalam setiap individu dan menjadikan belajar sebagai kebutuhan ( need ), niscaya budaya belajar ( learning culture ) dapat terbangun dan terwujud.
Jika budaya belajar sudah mengkondisi dalam suatu masyarakat sekolah ( school community ) niscaya prosesi ujian nasional, ulangan akhir semester atau eveluasi apapun tidak akan memicu kegalauan bagi para siswa, orang tua, maupun sekolah itu sendiri. Untuk itu upaya membangkitkan semangat belajar ini senantiasa menjadi tema yang menarik untuk didiskusikan.
Salah satu resep yang paling mujarab dalam membangun spirit belajar ini adalah dengan menumbuhkan dan membangun kesadaran dari dalam diri masing-masing, karena motivasi dari dalam lebih memiliki makna yang kuat dibanding dengan dorongan apalagi paksaan dari luar. Ingat falsafah telur ? sebuah telur yang pecahnya dari dalam ( karena dierami induknya ) niscaya akan membuahkan seekor makhluk baru, artinya ada buah yang berupa “kehidupan”, dan setiap kehidupan mesti akan memberi harapan. Lain halnya jika telur tersebut pecahnya dari luar, maka yang terjadi adalah kehancuran. Demikian pula dalam hal belajar, jika dorongan belajar berasal dari dalam diri setiap individu, tentu akan timbul pencerahan dan harapan. Akan tetapi kalau belajar harus dipaksa dari luar, yang terjadi adalah keterpaksaan yang pada gilirannya akan memicu kehancuran.
Untuk itu tulisan ini sengaja diangkat teriring harapan, semoga dapat menjadi referensi dalam menumbuhkan spirit belajar dari dalam diri bagi siapapun, baik siswa, guru, orang tua atau pembaca lainnya. Begitu indahnya makna belajar dalam kehidupan manusia dan begitu pentingnya mendorong spirit belajar sebagai identitas kemanusiaan, kiranya kita perlu merenungi pepatah China berikut :
Jika anda mempunyai rencana kehidupan satu tahun, tanamlah padi;
 jika anda mempunyai rencana kehidupan sepuluh  tahun, tanamlah pohon;
dan jika anda mempunyai rencana kehidupan sepanjang hayat, maka belajar, belajar , dan belajarlah.
Wallohu ä’lam, Semoga bermanfaat