Senin, 12 Oktober 2015

FARAIDH

                                                            FARAIDH
                        Faraidh atau mawarist (WARISAN) , sesuatu atau harta benda yang di tinggalkan oleh seseorang yang meninggal untuk dibagikan kepada yang masih hidup karena warisan disini memang untuk di bagikan .Suami atau pemimpin wanita , bagian laki-laki disini 2 kali bagian perempuan dalam kondisi apapun .
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN MENDAPAT WARISAN
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan ada tiga:
  1. Nasab atau keturunan yang syah
  2. Wala’ (Loyalitas budak yang telah dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya)
  3. Nikah yang syah
SEBAB-SEBAB YANG MENGHALANGI MENDAPAT WARISAN
            1. Berlainan agama
2. Perhambaan Sebab seorang hamba dan harta bendanya adalah menjadi hak milik tuannya, sehingga kalau ada kerabatnya memberi warisan, maka ia menjadi milik tuannya juga, bukan miliknya
ORANG-ORANG YANG BERHAK MENDAPATKAN WARISAN
Orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan ada tiga kelompok, yaitu: kelompok yang sudah ditentukan bagiannya, kedua, ashabah dan ketiga rahim (atau disebut juga ulul arham).
Bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam Kitabullah Ta’ala ada enam: (pertama) separuh, (kedua) seperempat, (ketiga) seperdelapan, (keempat) dua pertiga, (kelima) sepertiga, dan (keenam) seperenam.
A. Yang dapat 1/2:
1.       Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit tidak meninggalkan anak.
2.       Seorang anak perempuan mendapatkan separuh
3.       Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut ijma’ (kesepakatan) ulama’.“Para ulama’ sepakat bahwa cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-laki.”
4. dan 5. Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: “Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu.”
B. Yang dapat 1/4 ; dua orang.
1. Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak.
Firman-Nya: “Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan.” (QS An Nisaa’: 12).
2. Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak.
Firman-Nya: “Dan isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak.” (QS An Nisaa’: 12).
C. Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu):
Istri dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak.
Firman-Nya: “Tetapi jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (QS An Nisaa’: 12).
D. Yang dapat 2/3; empat orang
1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).
Firman-Nya: “Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya).” (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: “Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan.” (QS An Nisaa’: 176).
E. Yang dapat 1/3; dua orang:
1. Ibu, jika ia tidak mahjub (terhalang).
Firman-Nya: “Tetapi jika si mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu dan baoak, maka bagi ibunya sepertiga.” (QS An Nisaa’: 11).
2. Dua saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya.
Firman-Nya: “Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu.” (QS An Nisaa’: 12).
F. Yang dapat 1/6; ada tujuh orang:
1. Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari seorang.
Firman-Nya: “Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya dapat seperenam.” (QS An Nisaa’: 11).
2. Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama’ sepakat bahwa nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan ibu.” (Al Ijma’ hal. 84).
3. Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan.
Firman-Nya: “Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat seperenam.” (QS An Nisaa’: 12).
4. Cucu perempuan, jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:
Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, “Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan.” Maka ia menjawab, “Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!” Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, “Sungguh kalau begitu (yaitu kalau sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).
5. Saudara perempuan sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak perempuan.
6. Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak.
Firman-Nya: “Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak itu) mempunyai anak.” (QS An Nisaa’: 11).
7. Datuk (kakek) dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam hal ini Ibnul Mundzir menyatakan, “Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan datuk sama dengan kedudukan ayah.”

IBADAH GHAIRU MAGHDAH

IBADAH GHAIRU MAGHDAH
Ibadah ghairu maghdah adalah ghairu mahdhah atau ibadah bersifat umum (‘Amm, ‘ammah ) adalah segala perkara yang diizinkanNya atau dibolehkanNya meliputi segala amal kebaikan yakni segala perkara yang jika dikerjakan mendapatkan kebaikan (pahala) dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda “Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (ibadah mahdhah), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amal kebaikan (ibadah ghairu mahdah) maka Aku mencintai dia” . (HR Bukhari 6021)
Jadi ibadah ghairu mahdhah tujuannya sebagai bukti ketaatan kepada Allah ta’ala yakni menjalankan apa yang telah diwajibkanNya yakni menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya yang dilakukan atas dasar ketentuanNya dan untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan atas dasar kesadaran sendiri
  Untuk lebih jelasnya lagi , di bawah ini ada suatu pengertian yang sederhana dengan suatu ayat yang sederhana juga yaitu :
Ibadah Ghairu Mahdhah yakni setiap pekerjaan yang hukum asalnya Mubah namun kemudian bisa bernilai Ibadah bergantung pada MAQASHID atau tujuan dari pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Untuk pekerjaan jenis ini berlaku baginya kaidah:

الاصل فى الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على تحريمه

“Asal dari segala sesuatu itu Mubah, sampai ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya.”
 Contohnya :
Membeli air pada dasarnya adalah mubah (boleh dibeli, boleh tidak, dan tidak berpahala). Namun ketika seseorang mau shalat fardhu tetapi tidak ada air di sisinya melainkan harus membeli dan ia memiliki kesanggupan untuk membeli air maka hukum membeli air di sini menjadi wajib dan berubah menjadi amalan yang berpahala serta dihitung sebagai ibadah ghairu mahdhah. Pada kasus tersebut, membeli air merupakan wasilah, sedangkan wudhu/ shalat adalah maqsud. Karena wudhu shalat fardhu itu syarat sah shalat fardhu tersebut maka membeli air juga dihukumkan wajib jika mampu.

Kebenaran dan Kebetulan



Pada pertemuan pertama membahas masalah kebenaran dan kebetulan , dimana dalam islam memang dikenal sebuah konsep yaitu kebenaran , kebenaran disini berasal dari kata betul , namun definisi kebenaran dan kebetulan jelaslah berbeda ,  definisi kebenaran dan kebetulan tersebut yaitu

Kebenaran
sesuatu yg cocok dengan sesungguhnya, sesuai sebagaimana seharusnya,
  biasanya sesuai dengan semua ajaran ajaran islam yang datangnya dari Allah swt karena kebenaran disini memang yang datangnya dari Allah swt. 

Kebetulan
tidak sengaja terjadi, sesuatu yang terjadi tidak terduga, tidak ada yg merencanakan
tidak sengaja dan biasanya berhubungan dengan dunia atau tingkah laku manusia .